EDUPUBLIK – Diluar ramainya peresmian 8 lubang Keramba Jaring Apung (KJA) Offshore (Lepas Pantai) oleh Presiden Jokowi yang didampingi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastiuti, di lepas pantai 7 hingga 8 mil dari Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cikidang Pangandaran Jawa Barat (24/4/2018), rupanya ada rasa tidak puas.. Ujungnya, menyisakan sejumlah tanya. Pemerinah terlihat begitu bangga memakai produk KJA Lepas Pantai dari luar negeri. Sementara, produk sejenis ini sudah lama kita kuasai. Malah hasilnya telah beberapa kali diekspor ke mancanegara. Mengapa ini terjadi?
Kabar kurang sedap ini didiga, produsen KJA Lepas Pantai dari dalam negeri kalah lelang, hanya karena Norwegian Standard?
Mereaksi kabar burung ini Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dirjen KKP), Slamet Soebjakto di kantornya (27/4/2018), seperti dilansir banyak media massa mengatakan: Penggunaan KJA Offshore hasil teknologi Norwegia, sudah berdasarkan lelang internasional. Sepengetahuannya, phak Norwegia dianggap sudah mumpuni dalam melakukan budidaya perikanan di tengah laut. Pun, teknologinya telah menjadi acuan standar internasional.
Dalam hal harga. meski menggunakan teknologi canggih, KJA Lepas Pantai buatan Norwegia jauh lebih murah dibanding buatan lokal. Anggaran khusus pembuatan KJA Lepas Pantai , Norwegia membutuhkan dana Rp 7,9 miliar untuk 8 lobang keramba, sedangkan buatan nasional Rp 8,3 miliar.
“Kita sudah lelang, harganya lebih. murah dari Norwegia Rp 7,9 miliar untuk 8 lobang, kalau nasional Rp 8,3 miliar,” ujarnya dihadapan para pewarta. Sedangkan pembuatan fasilitas tersebut secara keseluruhan menelan biaya Rp 131,4 miliar.Kini, melalui Perinus sebagai pemenang tender Percontohan Instalasi Budidaya Laut Lepas Pantai yang bermodalkan sekitar Rp 130 miliar, sedang dikembangkan di tiga lokasi yakni, Sabang, Pangandaran, dan Karimunjawa.
Sementara itu, Menteri KKP Susi Pudjiastuti menyatakan, pembuatan KJA di tengah laut yang dilakukan instansinya sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Harapannya, nelayan Indonesia tidak hanya mengambil ikan di lautan saja, tetapi melakukan budidaya dengan kapasitas industri.
Rupanya, suara-suara sumbang atas pemakaian KJA Lepas Pantai produk luar negeri ini, muncul dari berbagai kalangan termasuk akademisi, pembudidaya maritim, serta pegiat lingkungan hidup, di antaranya Gerakan Hejo.
“Sayangnya, mengapa untuk yang diklaim pemerintah KJA Lepas Pantai sebagai yang pertama di Indonesia, padahal sudah ada yang merintisnya sejak 2006 di dalam negeri. Kali ini kenapa pula harus pakai produk luar? Kita pun sudah bisa membuatnya. Standarnya internasional, sudah diekspor ke enam negara di Asia dan Afrika,” papar Agus Warsito, Sekjen Gerakan Hejo yang dihubugni secara terpisah (10/5/2018) di Bandung.
Fakta di Lapangan
Menindaklanjuti keberatan ini, para jurnalis menyembaptkan diri melihat terpasangnya KJA Lepas Pantai di Pangandaran. Perjalanan pada minggu ke dua di bulan Mei 2018 itu, ternyata keberadaan KJA Lepas Pantai di Pangandaran, tampak masih belum terpadu.
“Tak paham soal itu Pak. Setahu kami itu proyek Ibu Susi, diresmikan Pak Jokowi. Pernah terlibat, hanya angkut-angkut barang saja sebelum diresmikan. Selebihnya, kami tak tahu,” itu jawaban umum dari nelayan setempat. Salah satunya, Nanang (47) dan Dedi (42) warga Cikidang yang berbincang soal ini.
Yang menonjol dari perkenalan dengan puluhan nelayan di sekitar PPI Cikidang, beredar ujaran kuat, di antaranya – Jangan sekali-kali mendekati area KJA Lepas Pantai. Di sekelilingnya, dijaga aparat bersenjata selama 24 jam. Belum lagi, ada CCTV.
“Saya pernah kesana, katanya wajah saya ada di CCTV di kantor Ibu Susi saat ini. Takut juga sih, tapi kan saya tidakngapa-ngapain di sana ?” kata beberapa nelayan di Cikidang Pangandaran.
Anehnya, bila kita berminat melihat KJA Lepas Pantai dari dekat, bukankah ini proyek terbuka? Bukankah ini digagas demi memakmurkan para nelayan, yang selama ini jarang diperhatikan nasibnya?
Begitu pun aparat di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut Wilayah Selatan (BPBAPLWS) Pangandaran yang dikelola Dinas Perikanan dan kelautan (DPK) Provinsi Jawa Barat, selama ini lembaga tersebut dianggap paling tahu soal KJA. Faktanya, tidak tahu menahu soal KJA Lepas Pantai di daerahnya.
“Kami ini hanya mengurus bidang kami saja. Adanya KJA Lepas Pantai itu kan langsung perintah dari KKP di pusat. Yang kami tahu penawaran untuk KJA Lepas Pantai seperti ini dari produk dalam negeri memang pernah ada. Kami tertarik soal ini. Hanya, melalui Kepala di lembaga kami, lalu atas persetujuan Gubernur Jabar-lah yang bisa memutuskan ya, tidaknya,” ujar beberapa staf di kantor BPBAPLWS Pangandaran.
Singkat kisah, redaksi usai berhasil melihat KJA Lepas Pantai di Pangandaran dari dekat pada sore hari yang disertai hujan, esoknya menemui para pengelolanya di daratan.
Dipastikan bahwa lima pengelola utama KJA Lepas Pantai di Pangandaran adalah dari koordinasi Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL), Lampung dengan PT.Perikanan Nusantara (Perinus).
“Tugas kami merawat KJA Lepas Pantai ini dengan isinya. Juga mengurus pakan serta hal lainnya. Soal, adanya penjagaan aparat militer, belum ada hingga kini, entah bila ke depan itu pun mungkin kalau ikannya sudah besar-besar, ” kata Danel yang diamini rekannya Ikhsan, dan Ikhlas.
Sementara itu menurut Iksan, higga kini baru satu lubang dari delapan yang ada yang terisi ikan Barramudi (kakap putih):”Bibitnya dari BBPBL Lampung, seekornya sekitar seratus gram. Baru satu lubng terisi 70-an ribu jumlahnya. Harusnya 120-an ribu per lubang. Setahun kemudian baru bisa dipanen…”
Yang Tersingkir itu
Sedikit melihat ke belakang, sebelum pergi ke Pangandaran pada mingu kedua bulan Mei 2018, para pewarta sempat bertemu dengan Direktur Utama PT Gani Arta Dwitunggal, Budi prawira Sunadim, yang didampingi GM perushaan ini, Andi J Sunadim, S.Mn.
Budi dan Andi sepertinya, tidak habis pikir produknya Aquatec yang sudah memenuhi syarat dari segi produk dalam negeri, pun dari segai harga bisa 30% lebih murah, terbukti telah melakukan ekspor ke berbagai negara di Asia dan Afrika, kalah tender atau lelang hanya karena ada ketentuan Norwegian Standard.
“Ini bisa kita lihat dari dokumen ini yang setengah bahasa Inggris, setengah lagi bahasa Indonesia, membingungkan bagi kami ada Norwegian Standard, juga ada FAO segala. Berarti perusahaan Jepang maupun Amerika pasti akan kalah, karena diganjal Norwegian Standard ini,” jelas Budiprawira sambil memperlihatkan setumpuk dokumen yang menurutnya mengandung banyak kejanggalan, dengan menambahkan – “Produk kami bisa tenggelam, submersible bila ada badai untuk pengamanan, ini kami gunakan di China sana yang sering lautnya kena taifun. Sementara produk Norwegia ini tidak bisa tenggelam..”
Lebih lanjut, Budiprawira masih didampingi Andi, memohon kepada pihak yang berwenang untuk menjelaskan duduk perkara, mengapa produknya yang sudah memenuhi syarat dikalahkan dengan cara yang jauh dari unsur-unsur fairness?
“Pantas selama ini sejak 2016 saya mendengar ada kerjasama antara KKP dengan Norwegia. Bila sebatas kerjasama, tentu bagus-bagus saja dengan negara yang maju di bidang teknologi budidaya kemaritiman. Namu, bila berujung pada pengadaan seperti saat ini. Rasanya ini perlu kita pertanyakan?” ujar Budi Prawira.
Apa itu Norwegian Standar ?
Ditelisik bagaimana menjadikan ada Norwegian Standard dalam lelang pengadaan barang tahun 2017 ini? Jawabnya, ini tercantum di Dokumen Pengadaan Nomor 340/DP/DP/V/2017 Taggal 25 Mei 2017 untuk Pengadaan Percontohan Budidaya Lepas Pantai, kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Satker Direktorat Perbenihan, KKP Tahun Anggaran 2017.
Cobalah lihat di halamn 109 BAB XI SYARAT-SYARAT KHUSUS KONTRAK. Ternyata pada pada bagian f tercantun : Penyedia harus menyediakan barang yang telah memenuhi standar internasional/FAO/Norwegian Standard (Cages, Net for Cages dan Mooring System) dan Standard yang berlaku lainnya sesuai yang dipersyaratkan pada Spesifikasi Teknis Barang.
Faktanya, masih di Dokumen Pengadaan itu, kata-kata Norwegian Standard ini muncul kembali di hal 119 BAB XIII Daftar Kuantitas dan Harga. Kata-kata Norwegian Standard yang oleh banyak pengusaha nasional, telah menjadi batu sandungan peserta lelang mapun pengusaha nasional khususnya di bidang KJA Lepas Pantai, mucul di bagian A (cages), dan H (mooring systems for barge).
“Sekali lagi kami tidak ingin diistimewakan dalam hal bersaing di dunia usaha. Khusus kali ini, mohon pihak yang berwenang melakukan pendalaman semestinya. Selama ini pihak KKP melalui Direktorat Jenderal terkait hanya bisa membantah melalui konperensi pers yang sepihak. Cobalah, jelaskan kepada kami secara juridis formal,” lagi kata Budi Prawira.
Menutup peliputan ini, dari pihak Gerakan Hejo, Agus Warsito secara tegas meninta pihak KKP menjernihkan batu sandungan ini.”Saya tahu apa dan siapa Ibu Susi Pudjiastuti. Mungkin, beliau belum atau tidak sempat memahami perihal ganjalan Norwegian Standard ini. Sebaiknya, clear kan hal ini, “ kata Agus sambil menyatakan – “Kejanggalan kasus ini, mengapa saya ungkaplan secara terbuka, akhirnya? Pasalnya, banyak kalangan mulai dari akademisi, praktisi, termasuk pengamat budidaya, semua memberi masukan soal ini.”
Sementara itu Ir, Mohamad Husen dari IPKANI dan MAI (Masyarakat Aquakultur Indonesia) yang biasa disapa Husen Lauk, dikonfirmasi perihal tidak dipakainya produk dalam negeri dalam percontohan KJA Lepas Pantai di tiga lokasi di Indonesia?
“Secara pribadi ke Ibu Susi kalau tahu ada produk dalam negeri yang unggul dalam banyak hal, pasti ini yang dipakai. Dari segi harga, serta bahan, dan keandalan produk, tentu yang dalam negeri yang harus menjadi prioritas. Bagaimana industry perikanan dalam negeri, mau maju bila kebijakannya seperti ini? [HS/IS]